(Cerpen Ke-2) Gadis Sabtu Malam
Cerpen kedua ini saya tulis dengan harapan terus bisa menambah skill saya menulis. Jelek? Nggak apa-apa, yang penting unjuk gigi dulu. Hihihi #meringis.
Gadis Sabtu Malam, kenapa nggak gadis malam minggu aja? Sorry ya, di kamus jones (baca : jomblo with happiness) adanya sabtu malam. Kalo malam minggu sih, suka hujan soalnya. Lah, apa hubungannya? Nggak ada. Hahaha. Oiya, cerpen ini terinspirasi dari saya sendiri yang suka duduk di tempat itu-itu melulu kalo lagi galau. Dan ceritanya, nih gadis sabtu malam ini bencinya membabi-buta ya. Kasihan, padahal babi aja nggak buta. Oke, silahkan dibaca. Yang nggak kuat silahkan lambaikan tangan, tutup, silahkan main ke postingan lain. Karena cerpen ini nggak menghibur. Hihihi.
Gadis Sabtu Malam
Sabtu, 17 Oktober
“Thanks ya, Jo... Kalo nggak ada kamu nggak tau deh gimana
performnya. Kita ditinggal Ibnu libur, sih...” Kata Melly sambil menepuk
bahuku. Aku mengacungkan jempol tanda tak masalah pada vokalis yang
juga temanku sedari masih di sekolah dasar.
“Mel...” Ujarku pelan.
Melly mengangkat kedua alisnya, “Hmm...”
“Ibnu kenapa sih?” Aku penasaran dengan drummer berkacamata
yang kugantikan itu.
“Nggak tau. Tiba-tiba aja minta digantiin kalo perform
disini. Padahal disini salarynya lumayan lho. Cuma sabtu malam juga acaranya,”
“Oohh...”
Melly menatapku keheranan. “Kamu kenapa sih, Jo?”
Aku menggeleng. “Mungkin aku salah lihat, Mel...”
“Lihat apa sih?”
“Cewek, Mel...”
Melly tertawa sambil memukul-mukul pundakku. “Yaelah Jo... Kalo manggung beneran sih emang banyak cewek
yang nonton kali... Jangan norak gitu donk... Masa pecinta wanita kayak gitu?”
Benar juga apa yang dikatakan Melly. Saat manggung pasti banyak penonton, termasuk cewek-cewek. Yah, paling enggak dengan begini
koleksi bisa nambah nih. Dista, Leni, Ajeng... Hmm... siapa lagi ya?
Sabtu, 24 Oktober
“Ada yang mau request lagu lagi?” Melly menyapa para
penonton yang berada di kawasan wisata keluarga tempatku dan dia perform dalam
satu band. Memang kawasan ini setiap harinya hanya buka sampai pukul 5 sore,
dan khusus sabtu buka sampai pukul 09.30 malam.
Berbeda dengan Melly dan kawan-kawannya, hari ini adalah
penampilan keduaku disini. Salah seorang kawan Melly, Ibnu, mendadak ingin
digantikan tiap ada perform disini. Aku yang masih menganggur pasca lulus
sarjana, diajak Melly bergabung menggantikan Ibnu untuk sementara sebagai
penggebuk drum sampai mereka benar-benar menemukan pengganti Ibnu.
“Oke, kita nyanyi bareng-bareng ya....” Melly pun menggiring
penonton untuk berpartisipasi dalam lagu kali ini. Aku pun unjuk gigi, memamerkan keahlianku menggebuk drum.
“Kyaaaa.... Johan... Johaaaannn...” Rasanya puas sekali
ketika cewek-cewek itu meneriaki namaku. Mungkin ada yang bisa diajak hang out.
Lagi-lagi, mataku terpaku di arah jam sebelas. Aku
berusaha untuk mengacuhkannya. Banyak cewek yang lebih menarik, kenapa mesti
terpaku padanya? Rupanya tidak. kehadirannya cukup menyita perhatianku. Pasalnya,
dalam riuhnya acara ini, tidak sedikit pun ada tanda-tanda baginya untuk melebur
bersama penonton lain. Terlalu ganjil bagiku.
Sabtu, 31 Oktober
Kali ini aku sengaja datang paling cepat. Aku penasaran
dengan sosok itu. Aku ingin melihatnya datang karena aku tidak pernah tahu
kapan dia datang, bahkan kapan dia pulang. Ya, sosok perempuan yang sudah dua
kali ini aku lihat duduk di arah jam sebelas, menghadap ke timur sedangkan
panggung ada di sebelah selatan.
“Jo... Rajin amat lo...” Sapa Bang Hilmi, gitaris. Lelaki
berpostur tinggi dan kerempeng dan berambut gondrong yang lebih dulu manggung
disini ini memang sangat ramah. Bahkan dia yang mereferensikan aku kepada
teman-temannya setelah usulan Melly pastinya.
“Eh, anu Bang.... Lagi kepingin check sound aja.” Jawabku
sekenanya. Bang Hilmi tak bertanya lebih jauh lagi. Dia asyik menyetel gitar
kesayangannya.
“Eh, kalo gue perhatiin... Elo sama Ibnu hampir-hampir mirip
ya?”
“Ah, masa sih Bang?”
“Iya... Bentuk hidung lo, rambut lo, kacamata lo juga mirip
deh. Pas bener deh si Melly itu pilih elo jadi gantinya Ibnu.”
“Ah, Bang Hilmi bisa aja deh...”
Penonton sudah mulai ramai. Tapi tak ku jumpai juga
perempuan itu. Sampai akhirnya pada pertengahan pertunjukan, mataku kembali menangkap
sosok perempuan itu. Berkulit putih dan rambut hitam, lurus sebahu dan
dibiarkannya tergerai. Ada sebuah jepit bunga berwarna putih di rambutnya, yang
aku sendiri tak yakin bunga apa itu. Perempuan itu memakai baju lengan panjang
putih yang bermotif bunga-bunga, rok panjang warna hitam, serta sepasang flat
shoes warna putih. Sayangnya aku tak berhasil menangkap wajahnya. Hanya hidung
mancungnya saja yang terlihat olehku.
“Joooooo.... Main Jo,” Bisik Bang Hilmi padaku.
“Eh, oh... Sorry Bang...”
Dan, lagu Ku Katakan Indah milik Peter Pan pun mengalun.
Sabtu, 7 November
“Hah? Cewek? Disini banyak cewek kali, Jo...”
“Cewek arah jam sebelas Mel... Dia selalu duduk di situ
kok.”
“Emangnya cewek itu kenapa, Jo? Dista, Leni, Ajeng kamu
taruh dimana?”
“Nggak ditaruh dimana-mana kali, Mel.. Tapi tuh cewek aneh
bener kok.”
“Aneh gimana? Lebih aneh kamu, Jo... Pacar udah 3 masih aja
audisi lagi,”
Hah! Melly memang benar. Kurang apa aku dengan mereka
bertiga? Cantik, seksi, smart, fashionable, dan yang pasti mereka nggak tau
kalau cintaku terbagi 3, bahkan kadang-kadang bisa terbagi banyak juga.
“Kamu salah lihat kali, di belakangnya kan ada bangku
penonton juga. Kalo ada cewek aneh, pasti semua pada lihat lah,”
“Tapi dia selalu nggak pernah perhatiin panggung, hadap
timur melulu...”
“Udah, nggak usah dipikirin... Mungkin lagi galau,”
Melly pun beranjak. “Makan, yuk... Laper nih.”
Aku pun mengekor di belakang Melly. Memang benar juga
apa yang Melly bilang. Mestinya pengunjung lain akan memandang aneh kalo
perempuan itu memang ganjil. Tapi semua tampak biasa-biasa saja, mungkin aku
yang salah melihat.
Sabtu, 14 November
Kali ini mataku tak mungkin salah
lagi. Perempuan itu. Dia benar-benar ada di sana. Duduk menyendiri di arah jam
sebelas, dan menghadap ke timur.
“Mel.. Melly... Mel...” Yang
dipanggil pun menoleh. “Apa?” Tanyanya.
Dengan percaya diri, aku menunjuk
ke arah jam sebelas. “Tuh, cewek aneh lagi duduk disitu tuh...”
Melly mengarahkan matanya ke arah
yang ku tunjuk. Lalu dia menoleh kembali ke arahku dan tersenyum tipis.
Kepalanya mengangguk-angguk. Sepertinya dia sepakat denganku kalo perempuan itu
memang ada yang tak beres.
Kali ini aku menang. Apa aku
bilang? Gadis itu memang beda. Boleh juga tuh. Sudah kuputuskan, aku akan
menghampiri perempuan itu. Setidaknya, aku tahu namanya dan kapan dia beranjak pulang. Dan,
ada puluhan pertanyaan lain yang ingin kutanyakan padanya.
“Oke teman-teman semua yang ada
disini, terimakasih telah datang kemari menyaksikan pertunjukan kami... Sampai
jumpa lagi minggu depan...” Melly menutup acara.
Sip. Dia masih ada disana. Aku
segera beranjak menuju bangku perempuan itu. Tapi, ah... Desakan penonton yang
ingin keluar menghalangi pandanganku. Dan, begitu aku tiba di bangku yang
tadinya diduduki perempuan itu... Nihil. Dia sudah tidak ada di tempatnya.
Aku malah semakin penasaran
dibuatnya. Tak apa, pikirku. Minggu depan aku pasti berhasil. Ya, pasti
berhasil. Gadis sabtu malam itu, aku pasti bisa mengenalnya.
“Mencari siapa, Mas Jo?” Seorang
pria paruh baya menanyaiku. Pak Mul namanya. Beliau sudah lama bekerja sebagai
keamanan disini.
“Eh, nggak kok Pak Mul... Nggak
ada,”
Sabtu, 21 November
Pokoknya hari ini harus berhasil.
Setidaknya aku tau nama perempuan itu. Demi memuluskan langkahku, kali ini aku
mencoba melobi Bang Hilmi.
“Gimana, Bang? Pliss deh...
Pokoknya kali ini, minimal tau nama tuh cewek deh...”
Bang Hilmi mangut-mangut. Entah
apa yang merasukiku, bagaimanapun juga aku terlalu dibuat penasaran oleh gadis
sabtu malam itu.
“Jadi demi cewek?” Tanya Bang
Hilmi memperjelas suasana. Diambilnya sebatang rokok dari saku kemejanya.
Aku mengangguk semangat.
“Entar aku kenalin cewek deh,
Bang...”
Bang Hilmi berpikir sejenak.
“Lah, terus... Bini gue?” Kali ini dinyalakannya korek api, dan disulutkan ke
sebatang rokok yang kini sudah menempel di bibir hitamnya.
“Bang Hilmi udah punya istri?”
“Anak gue udah satu biji tuh...”
Ternyata dibalik
penampilannya yang sangar, diam-diam Bang Hilmi laki-laki yang setia pada
istri. “Jadi gimana Bang? Bisa bantuin nggak nih?”
Laki-laki kurus itu menaikkan
alisnya, menghisap batang tembakau di bibirnya, dan menghembuskan asapnya. Aku
pun tertawa menang.
Berkat bantuan Bang Hilmi, aku
berhasil bolos satu lagu. Aku pun bergegas menuju ke arah perempuan yang sedari
tadi menghadap timur itu. Perempuan yang, hei... Kenapa aku baru menyadari
kalau pakaian yang dikenakannya dari sabtu malam pertama hingga seterusnya
sama? Bukan Johan namanya kalau mundur sekarang.
“Hei... cewek...” Aku mencoba
menyapanya. Perempuan itu tak bergeming. Satu kata pun tak keluar dari bibir
indahnya yang merah ranum. Tunggu, bukan merah. Tapi pucat. Pucat?
“Haloo, si cewek sabtu malam,” Aku masih tetap
beraksi. Bukan Johan namanya kalau tak mampu memikat hati para cewek-cewek.
“Boleh duduk, ya...” Kataku
sambil meraih kursi di depannya dan bersiap duduk. Akhirnya, aku bisa melihat
wajahnya. Eh, tapi?
“Bruuukkkk !!!” Hal yang terakhir
kudengar adalah jeritan penonton di dekatku.
***
“Jo... Jo... Bangun, Jo...!” Itu
sudah jelas suara Melly. Bangun? Oh iya, kepalaku masih pusing.
“Tadi dia bilang mau nyamperin
cewek yang duduk di sebelah sana tuh...” Kali ini suara Bang Hilmi.
“Nih anak matanya udah katarak
kali... Perasaan nggak ada siapa-siapa deh di sana,” Kali ini suara Melly lagi.
“Cewek? Kayaknya si Ibnu pernah
tanya gitu juga ke gue, Mel...” Akhirnya Bang Nunu, sang keyboardist pun ikut
bersuara.
“Nih anak dari kemarin ngotot ke
aku kalo di situ ada cewek duduk sendirian, Bang... Padahal kayaknya nggak ada
sih... Cewek kan banyak disini, jadi aku iya-in aja, deh,” Melly bersuara lagi.
“Lho? Aku kenapa ya?” tanyaku
pada mereka. Rasanya kepalaku berat, dan mataku berkunang-kunang.
“Jo... Ya ampuunn... Kamu sakit?”
“Enggak, kok Mel... Aku baik-baik
aja. Acaranya udah selesai nih?” Semuanya mengangguk.
Cewek itu? Dimana dia? Kuarahkan
mataku ke tempat duduknya tadi. Tidak ada. Bukankah aku tadi berhasil duduk di
depannya? Di depannya. Tak salah lagi. Lalu kenapa tiba-tiba? Setelahnya
aku tak ingat apa-apa dan tiba-tiba aku sudah begini.
Sabtu, 28 November
Aku sengaja datang paling awal
lagi. Kali ini aku memang ingin menangkap lagi perempuan itu. Siapa dia? Kenapa
ada disini setiap Sabtu malam? Dan kenapa aku pingsan dibuatnya? Semakin
banyaklah pertanyaan yang menumpuk di kepalaku.
“Mas Jo...” Sapa seorang pria
paruh baya. Pak Mul, rupanya.
“Kok jam segini sudah datang? Mau
checksound?” Tanya beliau ramah.
Aku menggeleng. “Bukan, Pak...
Sebenarnya, saya pengen ketemu cewek.”
“Ahhh... Pacarnya Mas Jo?”
Aku menggeleng lagi. “Pengunjung
sini Pak Mul... Pasti bapak tau, deh...”
Pak Mul meninggikan alisnya.
“Yang mana, Mas?”
“Sebelah situ.” Jawabku sambil
mengarahkan telunjukku ke arah tempat yang biasanya diduduki perempuan berjepit
bunga itu.
Pak Mul mengangguk-angguk.
Sejurus kemudian, menatap aneh padaku. “Mas Jo yakin melihat perempuan
disitu?”
Aku mengangguk mantap. “Ya. Pakai
baju putih lengan panjang motif bunga, rok hitam, sepatu putih, sama jepit bunga.”
Pak Mul menarik napas. Kemudian
memalingkan wajahnya ke arah jam sebelas, bangku yang biasa diduduki oleh gadis
sabtu malam yang misterius.
“Namanya Kirana, Mas. Gadis itu
memang pendiam, tapi baik dan ramah. Dulunya dia penonton setia acara sabtu
malam disini.” Terang Pak Mul.
“Ohhh...” Aku mengangguk-angguk
saja. Akhirnya tau juga nama perempuan misterius itu. “Kirana ya. Bagus ya
namanya.”
Pak Mul tersenyum, sekaligus
menatapku aneh. Aneh? Tunggu dulu. Dulunya?
“Kok dulunya sih, Pak Mul? Memangnya
sekarang enggak? Kayaknya tiap sabtu malam pasti ada disitu tuh,”
“Kirana memang senang duduk
disitu, Mas... Alasannya biar bisa lihat drummernya dengan jelas.”
Jadi itu maksudnya. Pantas saja
posisinya begitu terlihat jelas olehku.
“Pacarnya Kirana drummer yang
sering main disitu.”
“Ibnu?”
“Bukan, Mas Jo... Namanya Panji.
Band mas Panji dulu pengisi tetap acara ini sebelum mbak Melly dan
teman-temannya.”
“Panji? Panji dari band Pooh
Bears itu?”
Pak Mul mengangguk.
Gila! Kirana yang pendiam itu
pacarnya Panji. Walaupun aku tidak kenal Panji Pooh Bears, tapi reputasinya
menggema kemana-mana. Panji amat populer di kalangan wanita-wanita. Entah sudah
berapa banyak wanita yang “digagahi” oleh Panji. Ah, kasian betul Kirana.
“Eh, tapi kan Panji udah almarhum
Pak Mul... Jadi Kirana disini ngapain? Mengenang Panji? Mencari pengganti
Panji?”
“Sepertinya bukan.”
Aku semakin keheranan. “Maksud
Pak Mul?”
“Mas Ibnu juga sepertinya melihat
Kirana. Beda dengan Mas Jo yang langsung menyadari adanya Kirana, Mas Ibnu
menyadari ada Kirana baru-baru ini. Tepatnya sebelum digantikan sama Mas Jo.”
“Jadi, Kirana mau ngecengin
drummer-drummer disini?” Ah, susah sekali menerka maksud Kirana.
Pak Mul menarik napas panjang. “Mungkin
Kirana suka sama kalian, Mas...”
“Lalu Pak Mul, sekarang Kirana
itu dimana?”
Pak Mul menjawab pendek saja.
“Sudah almarhum.” Kemudian kembali beliau meneruskan rutinitasnya.
Jantungku berdesir kencang. Tanpa
dikomando, mataku sudah menyapu bangku penonton dan melihat bangku Kirana itu.
Bulu kudukku berdiri. Sesosok perempuan berbaju putih lengan panjang bermotif
bunga, rok hitam, sepatu putih, dan jepit bunga itu sudah duduk disana dan
menatapku.. Akhirnya kami bertatapan untuk pertama kalinya. Bukan seperti yang
dikatakan Pak Mul. Sorot mata Kirana itu bukan suka, apalagi cinta. Sorot mata
itu adalah amarah dan kebencian.
Mendadak aku teringat sesuatu.
Benang merah yang menghubungkan Panji, Ibnu, dan aku. Kami bertiga sama-sama
pemain drum, berkacamata, dan...
sama-sama penggila wanita. Tiba-tiba aku teringat headline koran yang
mengabarkan kematian Panji. “Seorang pemain band tewas digorok lehernya oleh sang
pacar. Motifnya diduga kuat cemburu buta. Sang pacar yang ditemukan dengan
leher bersimbah darah kini sedang dalam kondisi kritis.”
Dan, Kirana pun masih duduk diam disitu, menatapku tajam
seolah bersiap menumpahkan segala amarah yang dipendamnya. Kirana, si gadis sabtu malam.
#tamat