Rabu, 24 Februari 2016

(Cerpen Ke-2) Gadis Sabtu Malam



Cerpen kedua ini saya tulis dengan harapan terus bisa menambah skill saya menulis. Jelek? Nggak apa-apa, yang penting unjuk gigi dulu. Hihihi #meringis.

Gadis Sabtu Malam, kenapa nggak gadis malam minggu aja? Sorry ya, di kamus jones (baca : jomblo with happiness) adanya sabtu malam. Kalo malam minggu sih, suka hujan soalnya. Lah, apa hubungannya? Nggak ada. Hahaha. Oiya, cerpen ini terinspirasi dari saya sendiri yang suka duduk di tempat itu-itu melulu kalo lagi galau. Dan ceritanya, nih gadis sabtu malam ini bencinya membabi-buta ya. Kasihan, padahal babi aja nggak buta. Oke, silahkan dibaca. Yang nggak kuat silahkan lambaikan tangan, tutup, silahkan main ke postingan lain. Karena cerpen ini nggak menghibur. Hihihi.


Gadis Sabtu Malam

Sabtu, 17 Oktober

“Thanks ya, Jo... Kalo nggak ada kamu nggak tau deh gimana performnya. Kita ditinggal Ibnu libur,  sih...” Kata Melly sambil menepuk bahuku. Aku mengacungkan jempol tanda tak masalah pada  vokalis yang juga temanku sedari masih di sekolah dasar.

“Mel...” Ujarku pelan.

Melly mengangkat kedua alisnya, “Hmm...”

“Ibnu kenapa sih?” Aku penasaran dengan drummer berkacamata yang kugantikan itu.

“Nggak tau. Tiba-tiba aja minta digantiin kalo perform disini. Padahal disini salarynya lumayan lho.  Cuma sabtu malam juga acaranya,”

“Oohh...”

Melly menatapku keheranan. “Kamu kenapa sih, Jo?”

Aku menggeleng. “Mungkin aku salah lihat, Mel...”

“Lihat apa sih?”

“Cewek, Mel...”

Melly tertawa sambil memukul-mukul pundakku. “Yaelah Jo... Kalo manggung beneran sih emang banyak cewek yang nonton kali... Jangan norak gitu donk... Masa pecinta wanita kayak gitu?”


Benar juga apa yang dikatakan Melly. Saat manggung pasti banyak penonton, termasuk cewek-cewek. Yah, paling enggak dengan begini koleksi bisa nambah nih. Dista, Leni, Ajeng... Hmm... siapa lagi ya?

Sabtu, 24 Oktober

“Ada yang mau request lagu lagi?” Melly menyapa para penonton yang berada di kawasan wisata keluarga tempatku dan dia perform dalam satu band. Memang kawasan ini setiap harinya hanya buka sampai pukul 5 sore, dan khusus sabtu buka sampai pukul 09.30 malam.

Berbeda dengan Melly dan kawan-kawannya, hari ini adalah penampilan keduaku disini. Salah seorang kawan Melly, Ibnu, mendadak ingin digantikan tiap ada perform disini. Aku yang masih menganggur pasca lulus sarjana, diajak Melly bergabung menggantikan Ibnu untuk sementara sebagai penggebuk drum sampai mereka benar-benar menemukan pengganti Ibnu.

“Oke, kita nyanyi bareng-bareng ya....” Melly pun menggiring penonton untuk berpartisipasi dalam lagu kali ini. Aku pun unjuk gigi, memamerkan keahlianku menggebuk drum.

“Kyaaaa.... Johan... Johaaaannn...” Rasanya puas sekali ketika cewek-cewek itu meneriaki namaku. Mungkin ada yang bisa diajak hang out.

Lagi-lagi, mataku terpaku di arah jam sebelas. Aku berusaha untuk mengacuhkannya. Banyak cewek yang lebih menarik, kenapa mesti terpaku padanya? Rupanya tidak. kehadirannya cukup menyita perhatianku. Pasalnya, dalam riuhnya acara ini, tidak sedikit pun ada tanda-tanda baginya untuk melebur bersama penonton lain. Terlalu ganjil bagiku.

Sabtu, 31 Oktober

Kali ini aku sengaja datang paling cepat. Aku penasaran dengan sosok itu. Aku ingin melihatnya datang karena aku tidak pernah tahu kapan dia datang, bahkan kapan dia pulang. Ya, sosok perempuan yang sudah dua kali ini aku lihat duduk di arah jam sebelas, menghadap ke timur sedangkan panggung ada di sebelah selatan.

“Jo... Rajin amat lo...” Sapa Bang Hilmi, gitaris. Lelaki berpostur tinggi dan kerempeng dan berambut gondrong yang lebih dulu manggung disini ini memang sangat ramah. Bahkan dia yang mereferensikan aku kepada teman-temannya setelah usulan Melly pastinya.

“Eh, anu Bang.... Lagi kepingin check sound aja.” Jawabku sekenanya. Bang Hilmi tak bertanya lebih jauh lagi. Dia asyik menyetel gitar kesayangannya.

“Eh, kalo gue perhatiin... Elo sama Ibnu hampir-hampir mirip ya?”

“Ah, masa sih Bang?”

“Iya... Bentuk hidung lo, rambut lo, kacamata lo juga mirip deh. Pas bener deh si Melly itu pilih elo  jadi gantinya Ibnu.”

“Ah, Bang Hilmi bisa aja deh...”

Penonton sudah mulai ramai. Tapi tak ku jumpai juga perempuan itu. Sampai akhirnya pada pertengahan pertunjukan, mataku kembali menangkap sosok perempuan itu. Berkulit putih dan rambut hitam, lurus sebahu dan dibiarkannya tergerai. Ada sebuah jepit bunga berwarna putih di rambutnya, yang aku sendiri tak yakin bunga apa itu. Perempuan itu memakai baju lengan panjang putih yang bermotif bunga-bunga, rok panjang warna hitam, serta sepasang flat shoes warna putih. Sayangnya aku tak berhasil menangkap wajahnya. Hanya hidung mancungnya saja yang terlihat olehku.

“Joooooo.... Main Jo,” Bisik Bang Hilmi padaku.

“Eh, oh... Sorry Bang...”

Dan, lagu Ku Katakan Indah milik Peter Pan pun mengalun.

Sabtu, 7 November

“Hah? Cewek? Disini banyak cewek kali, Jo...”

“Cewek arah jam sebelas Mel... Dia selalu duduk di situ kok.”

“Emangnya cewek itu kenapa, Jo? Dista, Leni, Ajeng kamu taruh dimana?”

“Nggak ditaruh dimana-mana kali, Mel.. Tapi tuh cewek aneh bener kok.”

“Aneh gimana? Lebih aneh kamu, Jo... Pacar udah 3 masih aja audisi lagi,”

Hah! Melly memang benar. Kurang apa aku dengan mereka bertiga? Cantik, seksi, smart, fashionable, dan yang pasti mereka nggak tau kalau cintaku terbagi 3, bahkan kadang-kadang bisa terbagi banyak juga.

“Kamu salah lihat kali, di belakangnya kan ada bangku penonton juga. Kalo ada cewek aneh, pasti  semua pada lihat lah,”

“Tapi dia selalu nggak pernah perhatiin panggung, hadap timur melulu...”

“Udah, nggak usah dipikirin... Mungkin lagi galau,”

Melly pun beranjak. “Makan, yuk... Laper nih.”

Aku pun mengekor di belakang Melly. Memang benar juga apa yang Melly bilang. Mestinya pengunjung lain akan memandang aneh kalo perempuan itu memang ganjil. Tapi semua tampak biasa-biasa saja, mungkin aku yang salah melihat.

Sabtu, 14 November

Kali ini mataku tak mungkin salah lagi. Perempuan itu. Dia benar-benar ada di sana. Duduk menyendiri di arah jam sebelas, dan menghadap ke timur.

“Mel.. Melly... Mel...” Yang dipanggil pun menoleh. “Apa?” Tanyanya.

Dengan percaya diri, aku menunjuk ke arah jam sebelas. “Tuh, cewek aneh lagi duduk disitu tuh...”

Melly mengarahkan matanya ke arah yang ku tunjuk. Lalu dia menoleh kembali ke arahku dan tersenyum tipis. Kepalanya mengangguk-angguk. Sepertinya dia sepakat denganku kalo perempuan itu memang ada yang tak beres.

Kali ini aku menang. Apa aku bilang? Gadis itu memang beda. Boleh juga tuh. Sudah kuputuskan, aku akan menghampiri perempuan itu. Setidaknya, aku tahu namanya dan kapan dia beranjak pulang. Dan, ada puluhan pertanyaan lain yang ingin kutanyakan padanya.

“Oke teman-teman semua yang ada disini, terimakasih telah datang kemari menyaksikan pertunjukan  kami... Sampai jumpa lagi minggu depan...” Melly menutup acara.

Sip. Dia masih ada disana. Aku segera beranjak menuju bangku perempuan itu. Tapi, ah... Desakan penonton yang ingin keluar menghalangi pandanganku. Dan, begitu aku tiba di bangku yang tadinya diduduki perempuan itu... Nihil. Dia sudah tidak ada di tempatnya.

Aku malah semakin penasaran dibuatnya. Tak apa, pikirku. Minggu depan aku pasti berhasil. Ya, pasti berhasil. Gadis sabtu malam itu, aku pasti bisa mengenalnya.

“Mencari siapa, Mas Jo?” Seorang pria paruh baya menanyaiku. Pak Mul namanya. Beliau sudah  lama bekerja sebagai keamanan disini.

“Eh, nggak kok Pak Mul... Nggak ada,”

Sabtu, 21 November

Pokoknya hari ini harus berhasil. Setidaknya aku tau nama perempuan itu. Demi memuluskan langkahku, kali ini aku mencoba melobi Bang Hilmi.

“Gimana, Bang? Pliss deh... Pokoknya kali ini, minimal tau nama tuh cewek deh...”

Bang Hilmi mangut-mangut. Entah apa yang merasukiku, bagaimanapun juga aku terlalu dibuat penasaran oleh gadis sabtu malam itu.

“Jadi demi cewek?” Tanya Bang Hilmi memperjelas suasana. Diambilnya sebatang rokok dari saku  kemejanya.

Aku mengangguk semangat.

“Entar aku kenalin cewek deh, Bang...”

Bang Hilmi berpikir sejenak. “Lah, terus... Bini gue?” Kali ini dinyalakannya korek api, dan disulutkan ke sebatang rokok yang kini sudah menempel di bibir hitamnya.

“Bang Hilmi udah punya istri?”

“Anak gue udah satu biji tuh...”

Ternyata dibalik penampilannya yang sangar, diam-diam Bang Hilmi laki-laki yang setia pada istri. “Jadi gimana Bang? Bisa bantuin nggak nih?”

Laki-laki kurus itu menaikkan alisnya, menghisap batang tembakau di bibirnya, dan menghembuskan asapnya. Aku pun tertawa menang.

Berkat bantuan Bang Hilmi, aku berhasil bolos satu lagu. Aku pun bergegas menuju ke arah perempuan yang sedari tadi menghadap timur itu. Perempuan yang, hei... Kenapa aku baru menyadari kalau pakaian yang dikenakannya dari sabtu malam pertama hingga seterusnya sama? Bukan Johan namanya kalau mundur sekarang.

“Hei... cewek...” Aku mencoba menyapanya. Perempuan itu tak bergeming. Satu kata pun tak keluar dari bibir indahnya yang merah ranum. Tunggu, bukan merah. Tapi pucat. Pucat?

“Haloo, si cewek sabtu malam,” Aku masih tetap beraksi. Bukan Johan namanya kalau tak mampu memikat hati para cewek-cewek.

“Boleh duduk, ya...” Kataku sambil meraih kursi di depannya dan bersiap duduk. Akhirnya, aku bisa melihat wajahnya. Eh, tapi?

“Bruuukkkk !!!” Hal yang terakhir kudengar adalah jeritan penonton di dekatku.

***

“Jo... Jo... Bangun, Jo...!” Itu sudah jelas suara Melly. Bangun? Oh iya, kepalaku masih pusing.

“Tadi dia bilang mau nyamperin cewek yang duduk di sebelah sana tuh...” Kali ini suara Bang Hilmi.

“Nih anak matanya udah katarak kali... Perasaan nggak ada siapa-siapa deh di sana,” Kali ini suara Melly lagi.

“Cewek? Kayaknya si Ibnu pernah tanya gitu juga ke gue, Mel...” Akhirnya Bang Nunu, sang keyboardist pun ikut bersuara.

“Nih anak dari kemarin ngotot ke aku kalo di situ ada cewek duduk sendirian, Bang... Padahal  kayaknya nggak ada sih... Cewek kan banyak disini, jadi aku iya-in aja, deh,” Melly bersuara lagi.

“Lho? Aku kenapa ya?” tanyaku pada mereka. Rasanya kepalaku berat, dan mataku berkunang-kunang.

“Jo... Ya ampuunn... Kamu sakit?”

“Enggak, kok Mel... Aku baik-baik aja. Acaranya udah selesai nih?” Semuanya mengangguk.

Cewek itu? Dimana dia? Kuarahkan mataku ke tempat duduknya tadi. Tidak ada. Bukankah aku tadi berhasil duduk di depannya? Di depannya. Tak salah lagi. Lalu kenapa tiba-tiba? Setelahnya aku tak ingat apa-apa dan tiba-tiba aku sudah begini.

Sabtu, 28 November

Aku sengaja datang paling awal lagi. Kali ini aku memang ingin menangkap lagi perempuan itu. Siapa dia? Kenapa ada disini setiap Sabtu malam? Dan kenapa aku pingsan dibuatnya? Semakin banyaklah pertanyaan yang menumpuk di kepalaku.

“Mas Jo...” Sapa seorang pria paruh baya. Pak Mul, rupanya.

“Kok jam segini sudah datang? Mau checksound?” Tanya beliau ramah.

Aku menggeleng. “Bukan, Pak... Sebenarnya, saya pengen ketemu cewek.”

“Ahhh... Pacarnya Mas Jo?”

Aku menggeleng lagi. “Pengunjung sini Pak Mul... Pasti bapak tau, deh...”

Pak Mul meninggikan alisnya. “Yang mana, Mas?”

“Sebelah situ.” Jawabku sambil mengarahkan telunjukku ke arah tempat yang biasanya diduduki perempuan berjepit bunga itu.

Pak Mul mengangguk-angguk. Sejurus kemudian, menatap aneh padaku. “Mas Jo yakin melihat perempuan disitu?”

Aku mengangguk mantap. “Ya. Pakai baju putih lengan panjang motif bunga, rok hitam, sepatu putih, sama jepit bunga.”

Pak Mul menarik napas. Kemudian memalingkan wajahnya ke arah jam sebelas, bangku yang biasa diduduki oleh gadis sabtu malam yang misterius.

“Namanya Kirana, Mas. Gadis itu memang pendiam, tapi baik dan ramah. Dulunya dia penonton setia acara sabtu malam disini.” Terang Pak Mul.

“Ohhh...” Aku mengangguk-angguk saja. Akhirnya tau juga nama perempuan misterius itu. “Kirana  ya. Bagus ya namanya.”

Pak Mul tersenyum, sekaligus menatapku aneh. Aneh? Tunggu dulu. Dulunya?

“Kok dulunya sih, Pak Mul? Memangnya sekarang enggak? Kayaknya tiap sabtu malam pasti ada  disitu tuh,”

“Kirana memang senang duduk disitu, Mas... Alasannya biar bisa lihat drummernya dengan jelas.”

Jadi itu maksudnya. Pantas saja posisinya begitu terlihat jelas olehku.

“Pacarnya Kirana drummer yang sering main disitu.”

“Ibnu?”

“Bukan, Mas Jo... Namanya Panji. Band mas Panji dulu pengisi tetap acara ini sebelum mbak Melly  dan teman-temannya.”

“Panji? Panji dari band Pooh Bears itu?”

Pak Mul mengangguk.

Gila! Kirana yang pendiam itu pacarnya Panji. Walaupun aku tidak kenal Panji Pooh Bears, tapi reputasinya menggema kemana-mana. Panji amat populer di kalangan wanita-wanita. Entah sudah berapa banyak wanita yang “digagahi” oleh Panji. Ah, kasian betul Kirana.

“Eh, tapi kan Panji udah almarhum Pak Mul... Jadi Kirana disini ngapain? Mengenang Panji?  Mencari pengganti Panji?”

“Sepertinya bukan.”

Aku semakin keheranan. “Maksud Pak Mul?”

“Mas Ibnu juga sepertinya melihat Kirana. Beda dengan Mas Jo yang langsung menyadari adanya Kirana, Mas Ibnu menyadari ada Kirana baru-baru ini. Tepatnya sebelum digantikan sama Mas Jo.”

“Jadi, Kirana mau ngecengin drummer-drummer disini?” Ah, susah sekali menerka maksud Kirana.

Pak Mul menarik napas panjang. “Mungkin Kirana suka sama kalian, Mas...”

“Lalu Pak Mul, sekarang Kirana itu dimana?”

Pak Mul menjawab pendek saja. “Sudah almarhum.” Kemudian kembali beliau meneruskan rutinitasnya.

Jantungku berdesir kencang. Tanpa dikomando, mataku sudah menyapu bangku penonton dan melihat bangku Kirana itu. Bulu kudukku berdiri. Sesosok perempuan berbaju putih lengan panjang bermotif bunga, rok hitam, sepatu putih, dan jepit bunga itu sudah duduk disana dan menatapku.. Akhirnya kami bertatapan untuk pertama kalinya. Bukan seperti yang dikatakan Pak Mul. Sorot mata Kirana itu bukan suka, apalagi cinta. Sorot mata itu adalah amarah dan kebencian.

Mendadak aku teringat sesuatu. Benang merah yang menghubungkan Panji, Ibnu, dan aku. Kami bertiga sama-sama pemain drum,  berkacamata, dan... sama-sama penggila wanita. Tiba-tiba aku teringat headline koran yang mengabarkan kematian Panji. “Seorang pemain band tewas digorok lehernya oleh sang pacar. Motifnya diduga kuat cemburu buta. Sang pacar yang ditemukan dengan leher bersimbah darah kini sedang dalam kondisi kritis.”

Dan, Kirana pun masih duduk diam disitu, menatapku tajam seolah bersiap menumpahkan segala amarah yang dipendamnya. Kirana, si gadis sabtu malam.



#tamat

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2014 Keehh's