Senin, 22 Februari 2016

Cerpen Pertama (By Request) #Part 1

Tema cerpen yang di request -_-

Cerpen pertama ini adalah request dari orang yang kepo banget sama kisah asmara saya. Karena saya ini baik hati dan nggak sombong, jadi saya terima requestnya. Alih-alih bikin cerpen yang bagus, cerpen yang saya bikin masih ngasal, acak-adut, dan segudang borok-borok lainnya deh. Maklum, lagi baper, jadi cerpennya rada gimana gitu. Hehehe.

Oiya, tapiii.... Cerpen ini bukan curhat loh ya. Bukan juga kisah nyata. Pokoknya kisah ini hanya fiktif belaka. Kalo ada yang merasa karakternya mirip sama karakter cerpen saya, itu adalah kesengajaan. Hahahaha. Soalnya saya bingung bikin karakter. Hikss.... Dan, yang pasti... Cerpen ini nggak mneghibur. Silahkan lambaikan tangan, dan pilih postingan lainnya. Okee, siipp !!!


Sejauh Matahari (Part 1)

“Ibuk nggak mau tau. Pokoknya pulang!! Ibu sudah ketemu yang cocok buat kamu,” Wanita di        seberang telepon itu terdengar kesal karena gadis itu selalu menolak permintaannya.

“Lita nggak libur, Buk...” Lalita, gadis itu, nampak mencari-cari alasan. Kembali menolak  permintaan wanita yang telah mengandungnya selama 9 bulan itu.

“Ya sudah terserah kamu. Pokoknya kali ini kalo nggak pulang, sudah nggak usah pulang aja sekalian  !” Suara wanita itu sudah tidak terdengar lagi berganti dengan nada “tut” tanda panggilan telah di akhiri. Lalita terdiam, kemudian membalikkan badan hendak masuk ke dalam, mengambil tasnya lalu pulang.

“Berantem lagi?” Wira, seniornya yang masih belum pulang itu seperti bisa menebak ekspresi Lalita.  Dan seperti biasa, Lalita hanya akan menjawab dengan diam, dan menyunggingkan senyum yang  dipaksakan.

“Pulang sana!! Kamu terlalu lama disini,” Lagi-lagi, Wira seolah bisa menebak isi hati Lalita. “Mau sampai kapan kamu jadi tenaga sukarelawan di sini?”

Lalita menggeleng. Menjawab dua pertanyaan pemuda itu sekaligus. Yang pertama dia menolak pulang, dan yang kedua dia pun tidak tahu sampai kapan akan tetap berada di tempat itu.

“Lalita itu artinya ceria. Ibu kamu ingin putrinya yang manis ini jadi gadis yang ceria, bukan  perenung dan pendiam kayak gini,”

Lalita mengangguk. Tiga tahun lalu, ada yang mengatakan hal yang persis seperti yang dikatakan Wira. Sama dengan Wira, dia juga adalah seorang pemuda. Pemuda yang pernah menyelamatkannya dari jurang kesepian, dan pada pemuda itulah Lalita lalu menitipkan separuh jiwanya.

“Nah, kamu diam lagi.” Suara khas Wira membuyarkan lamunan Lalita.

“Eh, maaf Mas Wira... Sudah sore, aku mau pulang dulu...” Lalita berusaha menghindar sebelum  seniornya di puskesmas itu membaca pikirannya lebih jauh lagi.

“Besok kamu nggak usah masuk. Aku yang bertanggung jawab. Lagipula kamu disini nggak dibayar, kamu juga belum pernah ambil cuti.” Wira pun turut mengemasi barang-barangnya, dan berniat pulang juga.

Ya, sejak kedatangannya di tempat ini dua tahun lalu, Lalita belum pernah mengambil cuti. Bahkan saat lebaran, Lalita dengan senang hati menggantikan para pegawai yang libur mudik. Gadis itu tak keberatan sama sekali. Justru dengan cara itulah dia bisa melupakan separuh jiwanya yang kini entah dimiliki oleh siapa itu.

“Sana, pulang... Lebaran kemarin kamu juga menggantikan Bu Lis yang lagi mudik.”

“Tapi 4 hari lagi kan jadwalnya pusling sama Mas Wira,” Lalita masih juga teguh pada pendiriannya,   tidak ingin pulang kampung.

“Kita sudah pusling puluhan kali. Bosan. Pusling sama anak praktek, saja deh. Siapa itu namanya?”

“Mita?”

“Betul... Sama Mita saja deh, lebih cakep pula, hehehe...” Wira memamerkan deretan gigi putihnya  dan menatap mata Lalita penuh isyarat.


Lalita tersenyum, dia tahu betul pemuda itu hanya berusaha meyakinkan agar dia pulang. Wira memang selalu mengerti dirinya. Hanya Wira yang tidak pernah protes saat Lalita hanya tersenyum dan mengangguk waktu diajak bicara. Pegawai yang lain selalu menanyainya panjang lebar, termasuk siapa pacarnya dan kapan menikah. Hanya Wira yang tidak melakukannya. Setidaknya itu yang dipikirkan gadis pendiam itu tentang laki-laki di hadapannya. Karena itulah Lalita selalu nyaman melakukan pusling bersama Wira. Kenyamanan yang sama seperti yang dia dapatkan saat bersama laki-laki yang paling dikasihinya. Tidak. Gadis itu menyangkal apa yang dirasakannya sendiri. Hanya ada satu laki-laki. Ya, hanya satu.

***

Rumah bercat merah muda itu masih sama seperti dulu. Pintu tertutup dan tampak sepi. Memang rumah itu kini hanya dihuni Ibu dan ayah Lalita. Kedua kakak Lalita sudah menikah dan memiliki rumah sendiri. Adiknya pun kabarnya sudah setahun belakangan tidak pulang karena mendapat beasiswa studi di Jerman. Praktis, rumah menjadi sepi ditambah tanpa kehadiran Lalita yang terkesan minggat itu.

“Namanya, Hangga. Seorang penerbang. Ibuk ngerti, dia baik dan cocok buat kamu.” Wanita yang  tahun ini genap berusia setengah abad lebih sewindu itu menyodorkan foto pria gagah dengan    seragam khas angkatan udara itu.

“Lalita pulang bukan karena setuju, Buk...” Lalita masih gigih menolak permintaan ibunya.

“Lalita.... Dimas akan menikah sebentar lagi. Dia nggak akan kembali pada kamu. Berhentilah  menunggu.”

 “Ibuk ngerti darimana? Ibuk bertemu Dimas?”

“Dua minggu lalu Dimas kesini. Dia ingin kamu hadir di resepsinya nanti. Bagaimanapun dia nggak  ingin kamu memaafkan dia.”

Mata Lalita mengembun. Dia tak menyangka akan seperih ini. Sesuai namanya, Dimas, yang berarti yang terkasih. Pemuda itu tempatnya menitipkan separuh jiwanya tiga tahun yang lalu. Laki-laki yang paling dikasihinya di dunia ini, tentu setelah ayahnya, akan menikah dengan perempuan yang bukan dirinya dan meninggalkannya. Pikirannya tidak bisa membayangkan lebih jauh dari itu.

Lalu, bagaimana dia bisa memaafkan laki-laki yang sudah seenaknya datang dan pergi itu? Bagaimana dia bisa memaafkan laki-laki yang bahkan tak memberikannya kesempatan untuk bicara dan bertemu sebelum menghilang? Bagaimana caranya akan memaafkan Dimas yang bahkan tak mengatakan putus atau menyuruhnya menanti itu dan kini muncul akan menikah dengan perempuan yang bukan dirinya? Bagaimana? Lalita hanyut dalam emosinya.

“Ini undangannya, dan nomor telepon Dimas. Kalo kamu bisa hadir, dia meminta kamu buat  meneleponnya...”

“Buk....” Ujar Lalita lirih. “Lalita ingin minta tolong sesuatu sama Ibuk...”

Sejenak wanita itu bingung, menerka-nerka apa yang sedang Lalita pikirkan. Tapi kemudian senyum pun menyungging di bibirnya.

“Boleh, tapi Lalita harus janji ya...”

***

“Kenapa bukan aku yang menjadi perempuan beruntung itu?” Tanya Lalita pada pemuda berkacamata yang sedang memberi makan burung-burung dara di sebuah taman, tempat semua kenangan indah mereka terukir di masa lalu.

Tak ada jawaban. Hanya terdengar kepak sayap burung dara yang terbang kesana kemari.

“Sejak awal aku selalu bilang padamu, kalau aku....”

“Ya, kamu tidak ingin jatuh cinta lagi. Kamu sudah muak dengan makhluk yang menurutmu jahat  itu.” Pemuda itu menyahut kalimat yang ingin diucapkan Lalita.

“Lalu kenapa kamu datang dengan membawa sejuta harapan?” Lalita berusaha menahan agar butiran  embun di matanya itu tidak jatuh.

“Ya, aku bersalah,”

“Lalu apa alasanmu, datang tanpa permisi ke hidupku. Menawarkan kenyamanan yang tidak pernah  kudapatkan dari pria manapun, dan membawa sejuta asa yang lalu ikut menguap bersama          kepergianmu?”

Lagi-lagi tak ada jawaban. Lalita masih sekuat tenaga menahan air matanya. Tapi mendung sudah terlanjur bergelayut di wajahnya.


#bersambung dulu ya. Hihihi....



NB : Membuat cerpen yang dipost di blog itu bikin saya nggak pede. Tapi, berhubung udah capek-capek bikinnya, nggak karuan pun tetap saya post. Katanya harus pede, ya nggak sih? Hahaha....


0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2014 Keehh's