Cerpen Pertama (By Request) #Part 1
Tema cerpen yang di request -_- |
Cerpen pertama ini adalah request dari orang yang kepo banget sama kisah asmara saya. Karena saya ini baik hati dan nggak sombong, jadi saya terima requestnya. Alih-alih bikin cerpen yang bagus, cerpen yang saya bikin masih ngasal, acak-adut, dan segudang borok-borok lainnya deh. Maklum, lagi baper, jadi cerpennya rada gimana gitu. Hehehe.
Oiya, tapiii.... Cerpen ini bukan curhat loh ya. Bukan juga kisah nyata. Pokoknya kisah ini hanya fiktif belaka. Kalo ada yang merasa karakternya mirip sama karakter cerpen saya, itu adalah kesengajaan. Hahahaha. Soalnya saya bingung bikin karakter. Hikss.... Dan, yang pasti... Cerpen ini nggak mneghibur. Silahkan lambaikan tangan, dan pilih postingan lainnya. Okee, siipp !!!
Sejauh Matahari (Part 1)
“Ibuk nggak mau tau. Pokoknya pulang!! Ibu sudah ketemu
yang cocok buat kamu,” Wanita di seberang telepon itu terdengar kesal karena gadis
itu selalu menolak permintaannya.
“Lita nggak libur, Buk...” Lalita, gadis itu, nampak
mencari-cari alasan. Kembali menolak permintaan wanita yang telah mengandungnya
selama 9 bulan itu.
“Ya sudah terserah kamu. Pokoknya kali ini kalo nggak
pulang, sudah nggak usah pulang aja sekalian !” Suara wanita itu sudah tidak terdengar lagi berganti dengan
nada “tut” tanda panggilan telah di akhiri. Lalita terdiam, kemudian
membalikkan badan hendak masuk ke dalam, mengambil tasnya lalu pulang.
“Berantem lagi?” Wira, seniornya yang masih belum pulang itu
seperti bisa menebak ekspresi Lalita. Dan seperti biasa, Lalita hanya akan
menjawab dengan diam, dan menyunggingkan senyum yang dipaksakan.
“Pulang sana!! Kamu terlalu lama disini,” Lagi-lagi, Wira
seolah bisa menebak isi hati Lalita. “Mau sampai kapan kamu jadi tenaga
sukarelawan di sini?”
Lalita menggeleng. Menjawab dua pertanyaan pemuda itu
sekaligus. Yang pertama dia menolak pulang, dan yang kedua dia pun tidak tahu
sampai kapan akan tetap berada di tempat itu.
“Lalita itu artinya ceria. Ibu kamu ingin putrinya yang
manis ini jadi gadis yang ceria, bukan perenung dan pendiam kayak gini,”
Lalita mengangguk. Tiga tahun lalu, ada yang mengatakan hal
yang persis seperti yang dikatakan Wira. Sama dengan Wira, dia juga adalah
seorang pemuda. Pemuda yang pernah menyelamatkannya dari jurang kesepian, dan
pada pemuda itulah Lalita lalu menitipkan separuh jiwanya.
“Nah, kamu diam lagi.” Suara khas Wira membuyarkan lamunan
Lalita.
“Eh, maaf Mas Wira... Sudah sore, aku mau pulang dulu...”
Lalita berusaha menghindar sebelum seniornya di puskesmas itu membaca
pikirannya lebih jauh lagi.
“Besok kamu nggak usah masuk. Aku yang bertanggung jawab. Lagipula
kamu disini nggak dibayar, kamu juga belum pernah ambil cuti.” Wira pun turut
mengemasi barang-barangnya, dan berniat pulang juga.
Ya, sejak kedatangannya di tempat ini dua tahun lalu, Lalita
belum pernah mengambil cuti. Bahkan saat lebaran, Lalita dengan senang hati
menggantikan para pegawai yang libur mudik. Gadis itu tak keberatan sama
sekali. Justru dengan cara itulah dia bisa melupakan separuh jiwanya yang kini
entah dimiliki oleh siapa itu.
“Sana, pulang... Lebaran kemarin kamu juga menggantikan Bu
Lis yang lagi mudik.”
“Tapi 4 hari lagi kan jadwalnya pusling sama Mas Wira,”
Lalita masih juga teguh pada pendiriannya, tidak ingin pulang kampung.
“Kita sudah pusling puluhan kali. Bosan. Pusling sama anak
praktek, saja deh. Siapa itu namanya?”
“Mita?”
“Betul... Sama Mita saja deh, lebih cakep pula, hehehe...” Wira
memamerkan deretan gigi putihnya dan menatap mata Lalita penuh isyarat.
Lalita tersenyum, dia tahu betul pemuda itu hanya berusaha meyakinkan
agar dia pulang. Wira memang selalu mengerti dirinya. Hanya Wira yang tidak
pernah protes saat Lalita hanya tersenyum dan mengangguk waktu diajak bicara. Pegawai
yang lain selalu menanyainya panjang lebar, termasuk siapa pacarnya dan kapan
menikah. Hanya Wira yang tidak melakukannya. Setidaknya itu yang dipikirkan
gadis pendiam itu tentang laki-laki di hadapannya. Karena itulah Lalita selalu
nyaman melakukan pusling bersama Wira. Kenyamanan yang sama seperti yang dia
dapatkan saat bersama laki-laki yang paling dikasihinya. Tidak. Gadis itu menyangkal
apa yang dirasakannya sendiri. Hanya ada satu laki-laki. Ya, hanya satu.
***
Rumah bercat merah muda itu masih sama seperti dulu. Pintu tertutup
dan tampak sepi. Memang rumah itu kini hanya dihuni Ibu dan ayah Lalita. Kedua kakak
Lalita sudah menikah dan memiliki rumah sendiri. Adiknya pun kabarnya sudah
setahun belakangan tidak pulang karena mendapat beasiswa studi di Jerman. Praktis,
rumah menjadi sepi ditambah tanpa kehadiran Lalita yang terkesan minggat itu.
“Namanya, Hangga. Seorang penerbang. Ibuk ngerti, dia baik
dan cocok buat kamu.” Wanita yang tahun ini genap berusia setengah abad lebih
sewindu itu menyodorkan foto pria gagah dengan seragam khas angkatan udara itu.
“Lalita pulang bukan karena setuju, Buk...” Lalita masih
gigih menolak permintaan ibunya.
“Lalita.... Dimas akan menikah sebentar lagi. Dia nggak akan
kembali pada kamu. Berhentilah menunggu.”
“Ibuk ngerti
darimana? Ibuk bertemu Dimas?”
“Dua minggu lalu Dimas kesini. Dia ingin kamu hadir di
resepsinya nanti. Bagaimanapun dia nggak ingin kamu memaafkan dia.”
Mata Lalita mengembun. Dia tak menyangka akan seperih ini. Sesuai
namanya, Dimas, yang berarti yang terkasih. Pemuda itu tempatnya menitipkan
separuh jiwanya tiga tahun yang lalu. Laki-laki yang paling dikasihinya di dunia
ini, tentu setelah ayahnya, akan menikah dengan perempuan yang bukan dirinya dan
meninggalkannya. Pikirannya tidak bisa membayangkan lebih jauh dari itu.
Lalu, bagaimana dia bisa memaafkan laki-laki yang sudah
seenaknya datang dan pergi itu? Bagaimana dia bisa memaafkan laki-laki yang
bahkan tak memberikannya kesempatan untuk bicara dan bertemu sebelum
menghilang? Bagaimana caranya akan memaafkan Dimas yang bahkan tak mengatakan
putus atau menyuruhnya menanti itu dan kini muncul akan menikah dengan perempuan yang bukan dirinya? Bagaimana? Lalita hanyut dalam emosinya.
“Ini undangannya, dan nomor telepon Dimas. Kalo kamu bisa
hadir, dia meminta kamu buat meneleponnya...”
“Buk....” Ujar Lalita lirih. “Lalita ingin minta tolong
sesuatu sama Ibuk...”
Sejenak wanita itu bingung, menerka-nerka apa yang sedang
Lalita pikirkan. Tapi kemudian senyum pun menyungging di bibirnya.
“Boleh, tapi Lalita harus janji ya...”
***
“Kenapa bukan aku yang menjadi perempuan beruntung itu?”
Tanya Lalita pada pemuda berkacamata yang sedang memberi makan burung-burung
dara di sebuah taman, tempat semua kenangan indah mereka terukir di masa lalu.
Tak ada jawaban. Hanya terdengar kepak sayap burung dara
yang terbang kesana kemari.
“Sejak awal aku selalu bilang padamu, kalau aku....”
“Ya, kamu tidak ingin jatuh cinta lagi. Kamu sudah muak
dengan makhluk yang menurutmu jahat itu.” Pemuda itu menyahut kalimat yang
ingin diucapkan Lalita.
“Lalu kenapa kamu datang dengan membawa sejuta harapan?” Lalita
berusaha menahan agar butiran embun di matanya itu tidak jatuh.
“Ya, aku bersalah,”
“Lalu apa alasanmu,
datang tanpa permisi ke hidupku. Menawarkan kenyamanan yang tidak pernah kudapatkan dari pria manapun, dan membawa sejuta asa yang lalu ikut menguap
bersama kepergianmu?”
Lagi-lagi tak ada jawaban. Lalita masih sekuat tenaga
menahan air matanya. Tapi mendung sudah terlanjur bergelayut di wajahnya.
#bersambung dulu ya. Hihihi....
NB : Membuat cerpen yang dipost di blog itu bikin saya nggak pede. Tapi, berhubung udah capek-capek bikinnya, nggak karuan pun tetap saya post. Katanya harus pede, ya nggak sih? Hahaha....
0 komentar:
Posting Komentar